Cheluz |
“Kalian bilang Tolak tambang tapi tidak berpikir Cincin Uskup terbuat dari apa, Piala serta bahan ekaristi lainnya?. Semua itu Kan mengunakan bahan tambang. Bilangnya Tolak tambang tapi masih mengunakan HP, Komputer, naik motor, naik mobil. Bahkan Kelompok penolak tambang sangat sering mengunakan Facebook. Kalian menolak tambang tanpa memberi pilihan alternatif. Tolak tambang setelah itu bikin apa. Kalian Asal omong tolak saja. Asbun alias asal bunyi. Biar dibilang aktifis lingkungan. Berdemoria yang berujung pada kompesasi proyek pada Rezim GustI. Karena GustI juga tolak Tambang”
Inilah olokan yang dilontarkan sesorang pro tambang di Manggarai Barat ketika berbincang dengan saya di jakarta beberapa waktu lalu menanggapi sikap kritis GERAM serta Gereja katolik terhadap kegiatan pertambangan di wilayah Manggarai Barat. Mereka sedang melakukan “bunuh diri filsafat”, atas ketidakmampuannya menjelaskan hubungan antara pertambangan dengan kemakmuran rakyat yang sebenarnya tidak perna memiliki korelasi positif itu.
Di wilayah Manggarai Barat, mantan Fidelis Pranda yang menjiwai soehartoeisme selalu memberikan ilusi ilusi tentang “kemakmuran” dan “kesejahteraan” dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari Bumi Manggarai Barat. Hal yang sama juga dilakukan oleh para insvestor pertambangan. Aliran devisa, penyediaan lapangan kerja, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mempercepat pembangunan Manggarai Barat serta mengurangi kemiskinan adalah mantra setan yang mereka gulirkan secara terus menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri pertambangan mutlak dibutukan. Sehingga yang menolak tambang berarti juga menolak PANCASILA
Rezim Soeharto memang berlalu, namun rezim rezim pengantinya masih bergentayangan dan mewariskan kebijakan sebelumnya. Inilah kesesatan berpikir pemerintah yang memaknai era globalisasi pada pasar bebas hanya dari sudut pandang ekonomi, sementara banyang bayang bencana tanah longsor, krisis air bersih, krisis pangan, wabah penyakit, panas gobal yang sekarang ini terus menghantui rakyat dunia, sama sekali tidak cukup penting untuk dipikirkan.
Bayang bayang Rezim soehato juga ada dalam jiwa jiwa Anggota DPRD Manggarai Barat. Memang tidak semua. Di lembaga rakyat ini sangat sibuk dengan mencari cela mengamankan investasi pertambangan di wilayah pariwisata itu, kemudian melupakan nasib rakyat kebanyakan yang menentang kebijakan pertambangan.
Sebelumnya DPRD Manggarai Barat sempat mendapat apresiasi rakyat ketika mengeluarkan surat pemberhentian aktifitas pertambangan di wilayah itu. Surat pemberhentian ini dikeluarkan setelah GERAM terus mendesak sikap politik DPRD. Dukungan politik rakyat terus mengalir sekaligus mempengaruhi konstelasi politik dalam Pileg 2009, para oknum yang getol menolak tambang sebut saja Mateus Hamsi, Blasius Jeramun, Editadius Endi, Silverter Syukur, Abdul Azis, Frans sukmaniara terpilih kembali. Sementara para pengerak tolak tambang terpilih Bernadus Barat Daya, Stefanus Herson hingga Vitus Usu yang selalu membantu logistik gerakan tolak tambang mendapat jipratan dukungan politik. Dukungan politik ini juga direbut GustI, pihaknya mengkampanyekan tolak tambang. GustI-pun menang telak satu putaran dalam pertarungan politik pilkada 2010.
Ironisnya setelah mendapat kepercayaan penuh dari rakyat, DPRD Manggarai Barat kini berwajah lain. Sikapnya kini sangat romantis dengan investor pertambangan. Entah kenapa? Ditengah Memoratrium bupati menghentikan aktifitas pertambangan, DPRD Mabar malah mengeluarkan rekomendasi aktifitas pertambangan. Roh apa yang ada dalam jiwa masing oknum DPRD Mabar? Kalau Roh kudus, kepercayaan rakyat selalu dipegang teguh. Saya menduga apa praktek komersialisasi kebijakan. Rekomendasi yang dikeluarkan itu dibeli dengan harga sangat tinggi oleh pihak perusahaan pertambangan.
Dugaan lain dari pristiwa hilangnya roh kerakyatan DPRD Mabar adalah persoalan internal partai, sebut saja Golkar. Kebijakan partai Golkar memang harus menerima semua aktifitas pertambangan, setelah partai yang perna berkuasa di rezim otiter ini dipimpin Aburizal Bakrie. Siapa yang tidak mengenal Bakrie di republik ini, lapindo adalah sati fakta prilaku buruk Bakrie dalam investasi pertambangan.
Partai PDI Perjuangan-pun demikian. Partai yang katanya milik wong cilik alias rakyat miskin ini di wilayah NTT tak lagi mengembangkan semangat partai wong cilik. Pimpinan PDI Perjuangan di wilayah NTT yang sementara ini menjabat Gubernur NTT jelas berihak pada investor pertambangan. Program anggur merah ternyata terselip banyak kebijakan pertambangan.
Partai Hanura jangan disebut lagi, partai ini sangat jelas membelah kepentingan pertambangan di Manggarai Barat. Ketua Hanura Kab. Mabar adalah Fidelis Pranda, sehingga rakyat tidak meragukan lagi kalau partai ini akan tanam kaki pada industri pertambangan.
Lalu, dimanakah mantan ketua GERAM, Bernadus Barat Daya, Frans sukmaniara dari Demokrat, Edi Endi, Stef Herson, Vitus Usu dari PAN? Ikut “bermain”?, atau memilih “diam”? atau membela masyarakat dengan setenngah hati? Yang jelas dengan munculnya rekomendasi DPRD, menunjukan orang orang ini tak bisa diharapkan.
Jika benar ada komersialisasi kebijakan di DPRD Mabar, berarti DPRD Mabar sedang mengalami kebangkrutan moral yang mengerus kepercayaan publik. Bahwa sesunguhnya telah terjadi kebangkrutan kepercayaan serta kebangkrutan legitimasi terhadap DPRD. Tiga kebangkrutan fundamental. Lalu dengan dasar apa DPRD masih layak memutusakan kebijakan publik atas nama rakyat?
DPRD Mabar belakang lebih banyak “beronani” ketimbang memberi “kenikmatan” hidup apa rakyat. Oleh karena itu sebaiknya DPRD berhenti bersidang, dengan memperpanjang reses hingga sampai masa kontrak 2014, sampai rakyat memilih DPRD penebus hasil pemilu mendatang. Anggap saja DPRD sekarang ini koma, pingsan berantakan akibat keracunan berbagai kelakuakn jorok. Kiranya untuk sementara pemerintahan Mabar berjalan tanpa DPRD yang suka “beronani” itu.
Cheluz Pahun
Mantan Sekjen GERAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar