Yohanes Tara, OFM |
Kapolda NTT diminta Ambil Alih Kasus Tambang Mabar
Tribunnews.com - Selasa, 20 April 2010
JAKARTA --- Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (Formadda), menduga ada makelar kasus (Markus) yang berkeliaran di Polres Manggarai Barat (Mabar) terkait kasus pertambangan. Karena itu, Kapolda NTT diminta mengambil alih proses hukum kasus tambang tersebut dari Polres Mabar ke Polda NTT..
Permintaan itu disampaikan Formada dalam suratnya Nomor 8/JPIC-Ofm/advokasi/IV/10 tanggal 20 April 2010. Surat itu ditandatanganai oleh Kordinator Formadda, Yohanes Chirstoforus Tara. Yohanes kepada Tribunnews.com, di Jakarta, Selasa (20/4/2010) sore mengatakan, surat itu sudah dikirimkan ke Kapolda NTT. Diharapkan Kapolda bisa menindaklanjuti hal itu.
Menurut Yohanes, proses hukum kasus pertambangan RTK 108 di Manggarai Barat yang ditangani Polres Manggarai Barat, terkesan sangat lamban. “Kasus ini sudah diadukan oleh teman-teman dari Geram sejak tanggal 4 November 2009 lalu. Namun hingga saat ini, April 2010, belum ada perkembangan berarti,” kata Yohanes.
Yohanes menilai ada indikasi proses hukum kasus pertambangan ini sengaja diperlambat oleh penyidik Polres Mabar lantaran penyidiknya sudah ‘main mata’ dengan pihak terkait.
“Bahkan saya menduga, sudah ada Markus di Polres Manggarai Barat, yang membuat proses hukum kasus pertambangan menjadi lama dan diulur-ulur oleh penyidik. Karena itu kami menyurati Kapolda NTT agar dapat mengambil alih penanganan kasus tambang,” kata Yohanes.
Yohanes juga berharap agar Kapolda NTT mencopot pejabat Kapolres Mabar dan juga bisa menghentikan segala aktifitas di lokasi pertambangan di Mabar.
“Kami puji sikap yang diambil Kapolres Manggarai yang sudah menonaktifkan kegiatan di lokasi tambang Manggarai. Namun Kapolres Manggarai Barat tidak berani mengambil sikap yang sama dengan rekannya Kapolres Manggarai,” kata Yohanes.
Sebelumnya, puluhan warga NTT yang tergabung dalam Forum Formadda NTT, Franciscan Office for Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia, Forum dan Pemuda Flores –Jakarta (Florete), Aliansi Peduli Rrakyat (Ampera) NTT, serta Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menggelar aksi di KPK.
Mereka menuntut dan melaporkan tiga bupati di NTT, Yakni Bupati Manggarai, Bupati Manggarai Barat dan Bupati Lembata, yang diduga terlibat sejumlah kasus Korupsi dan pertambangan. Mereka berharap KPK mengambil alih kasus dimaksud. KPK menindaklanjuti tuntutan Formadda itu dan kini mulai mengumpulkan bukti bukti terkait untuk menentukan langkah selanjutnya.
Formada pun mendukung sikap Polda NTT yang telah memanggil dan memeriksa Bupati Manggarai Barat, Fidelis Pranda terkait berbagai kasus dugaan korupsi dan alih fungsi hutan lindung untuk tambang.
Permintaan itu disampaikan Formada dalam suratnya Nomor 8/JPIC-Ofm/advokasi/IV/10 tanggal 20 April 2010. Surat itu ditandatanganai oleh Kordinator Formadda, Yohanes Chirstoforus Tara. Yohanes kepada Tribunnews.com, di Jakarta, Selasa (20/4/2010) sore mengatakan, surat itu sudah dikirimkan ke Kapolda NTT. Diharapkan Kapolda bisa menindaklanjuti hal itu.
Menurut Yohanes, proses hukum kasus pertambangan RTK 108 di Manggarai Barat yang ditangani Polres Manggarai Barat, terkesan sangat lamban. “Kasus ini sudah diadukan oleh teman-teman dari Geram sejak tanggal 4 November 2009 lalu. Namun hingga saat ini, April 2010, belum ada perkembangan berarti,” kata Yohanes.
Yohanes menilai ada indikasi proses hukum kasus pertambangan ini sengaja diperlambat oleh penyidik Polres Mabar lantaran penyidiknya sudah ‘main mata’ dengan pihak terkait.
“Bahkan saya menduga, sudah ada Markus di Polres Manggarai Barat, yang membuat proses hukum kasus pertambangan menjadi lama dan diulur-ulur oleh penyidik. Karena itu kami menyurati Kapolda NTT agar dapat mengambil alih penanganan kasus tambang,” kata Yohanes.
Yohanes juga berharap agar Kapolda NTT mencopot pejabat Kapolres Mabar dan juga bisa menghentikan segala aktifitas di lokasi pertambangan di Mabar.
“Kami puji sikap yang diambil Kapolres Manggarai yang sudah menonaktifkan kegiatan di lokasi tambang Manggarai. Namun Kapolres Manggarai Barat tidak berani mengambil sikap yang sama dengan rekannya Kapolres Manggarai,” kata Yohanes.
Sebelumnya, puluhan warga NTT yang tergabung dalam Forum Formadda NTT, Franciscan Office for Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia, Forum dan Pemuda Flores –Jakarta (Florete), Aliansi Peduli Rrakyat (Ampera) NTT, serta Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), menggelar aksi di KPK.
Mereka menuntut dan melaporkan tiga bupati di NTT, Yakni Bupati Manggarai, Bupati Manggarai Barat dan Bupati Lembata, yang diduga terlibat sejumlah kasus Korupsi dan pertambangan. Mereka berharap KPK mengambil alih kasus dimaksud. KPK menindaklanjuti tuntutan Formadda itu dan kini mulai mengumpulkan bukti bukti terkait untuk menentukan langkah selanjutnya.
Formada pun mendukung sikap Polda NTT yang telah memanggil dan memeriksa Bupati Manggarai Barat, Fidelis Pranda terkait berbagai kasus dugaan korupsi dan alih fungsi hutan lindung untuk tambang.
Walhi NTT Desak Hentikan Pertambangan
Selasa, 14 Jul 2009
MAUMERE, Timex - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT mendesak agar menghentikan pertambangan di Manggarai Barat (Mabar). Desakan ditujukan kepada Bupati Mabar, W Felix Pranda agar pertambangan tidak dilanjutkan. Demkian disampaikan eksekutif daerah Walhi NTT, C Wilfridus Keupung kepada Timor Express, Minggu (12/7) di Maumere. Wilfridus mengaku sangat menyayangkan sikap bupati Mabar yang tidak peduli terhadap lingkungan hidup dan masyarakat Mabar yaitu dengan membiarkan investor tambang melakukan penambangan di Mabar.
Lebih riskan lagi, bupati justru mengeluarkan delapan surat kuasa pertambangan kepada beberapa investor. Wilfridus mengingatkan bupati Mabar agar akselerasi pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam (PSDA) terutama melalui bidang pertambangan sebagai jawaban untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), penyediaan lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan daerah tertinggal atau pengurangan kemiskinan perlu dicermati secara kritis.
Heranya, para pelaku pertambangan selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari hasil eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya dan Kabupaten Mabar khususnya adalah mantera yang digulirkan terus menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri mutlak diperlukan.
“Kami dari Walhi mendesak bupati Mabar agar segera menghentikan pertambangan di Mabar tidak boleh dengan alasan untuk kemakmuran rakyat. Disisi lain, rakyat akan dirugikan untuk selamanya akibat dari pertambangan tersebut,” tegas Wilfridus.
Wilfridus menambahkan, Kabupaten Mabar secara resmi menjadi sebuah kabupaten otonom, pemekaran dari Kabupaten Manggarai berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2003. Kabupaten Mabar yang beribukota Labuan Bajo terletak di pulau Flores bagian barat, Provinsi NTT yang berbatasan dengan Provinsi NTB memiliki nama yang cukup familiar bagi wisatawan asing maupun dalam negeri. Sebab, disana terdapat species komodo yang sedang dipromosikan untuk menjadi salah satu keajaiban dari tujuh keajaiban dunia.
Karena itu, tidak heran bila setiap hari Labuan Bajo dikunjungi 200-an wisatawan asing. Hal itu berarti devisa daerah dan ekonomi rakyat dapat dibantu melalui sektor pariwisata disamping itu Kabupaten Mabar dikenal sebagi gudang beras NTT khususnya, seperti terdapat pada daerah persawahan Lembor, Ngorang, Sanunggoang dan Terang.
Di kabupaten tersebut masih terdapat hutan lindung yang tetap terjaga hingga hari ini. “Dengan kekayaan alam yang ada semestinya bupati tidak perlu harus mengorbankan rakyat banyak hanya dengan iming-iming untuk kesejahteraan rakyat, mantera-mantera murahan yang diberkan kepada rakyat adalah bentuk eksploitas atas nama rakyat,” ujar Wilfridus.
Manager Program Walhi, Hery Naif yang dengan tegas mengatakan, apa yang disampaikan untuk kepentingan rakyat dan kemakmuran rakyat dengan meningkatkan ekonomi dan seribu alasan oleh bupati Mabar hingga hari ini belum menunjukkan buktinya sebagai salah satu kabupaten otonom bahwa dengan pertambangan, kesejahteraan atau kemakmuran rakyat tercapai.
Contohnya tambang emas di Freeport di Papua hanya bisa dibanggakan Indonesia sebagai tambang emas terbesar, tetapi hasilnya Papua menjadi provinsi termiskin. Atau tambang Buyat Minahasa yang dilakukan Newmont Minahasa Raya, masyarakat terpaksa melepaskan tanah warisan leluhur karena tidak mampu menanggung derita akibat pertambangan.
“Prinsipnya pertambangan merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian. Dalam konteks ini mayarakat Mabar hanya akan menjadi sebagai penikmat warisan jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan hidup dan sosial lainnya. Apa lagi lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat global warming dan climate change yang terus terjadi,” jelas Hery. (kr5)
Lebih riskan lagi, bupati justru mengeluarkan delapan surat kuasa pertambangan kepada beberapa investor. Wilfridus mengingatkan bupati Mabar agar akselerasi pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam (PSDA) terutama melalui bidang pertambangan sebagai jawaban untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), penyediaan lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan daerah tertinggal atau pengurangan kemiskinan perlu dicermati secara kritis.
Heranya, para pelaku pertambangan selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari hasil eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya dan Kabupaten Mabar khususnya adalah mantera yang digulirkan terus menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri mutlak diperlukan.
“Kami dari Walhi mendesak bupati Mabar agar segera menghentikan pertambangan di Mabar tidak boleh dengan alasan untuk kemakmuran rakyat. Disisi lain, rakyat akan dirugikan untuk selamanya akibat dari pertambangan tersebut,” tegas Wilfridus.
Wilfridus menambahkan, Kabupaten Mabar secara resmi menjadi sebuah kabupaten otonom, pemekaran dari Kabupaten Manggarai berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2003. Kabupaten Mabar yang beribukota Labuan Bajo terletak di pulau Flores bagian barat, Provinsi NTT yang berbatasan dengan Provinsi NTB memiliki nama yang cukup familiar bagi wisatawan asing maupun dalam negeri. Sebab, disana terdapat species komodo yang sedang dipromosikan untuk menjadi salah satu keajaiban dari tujuh keajaiban dunia.
Karena itu, tidak heran bila setiap hari Labuan Bajo dikunjungi 200-an wisatawan asing. Hal itu berarti devisa daerah dan ekonomi rakyat dapat dibantu melalui sektor pariwisata disamping itu Kabupaten Mabar dikenal sebagi gudang beras NTT khususnya, seperti terdapat pada daerah persawahan Lembor, Ngorang, Sanunggoang dan Terang.
Di kabupaten tersebut masih terdapat hutan lindung yang tetap terjaga hingga hari ini. “Dengan kekayaan alam yang ada semestinya bupati tidak perlu harus mengorbankan rakyat banyak hanya dengan iming-iming untuk kesejahteraan rakyat, mantera-mantera murahan yang diberkan kepada rakyat adalah bentuk eksploitas atas nama rakyat,” ujar Wilfridus.
Manager Program Walhi, Hery Naif yang dengan tegas mengatakan, apa yang disampaikan untuk kepentingan rakyat dan kemakmuran rakyat dengan meningkatkan ekonomi dan seribu alasan oleh bupati Mabar hingga hari ini belum menunjukkan buktinya sebagai salah satu kabupaten otonom bahwa dengan pertambangan, kesejahteraan atau kemakmuran rakyat tercapai.
Contohnya tambang emas di Freeport di Papua hanya bisa dibanggakan Indonesia sebagai tambang emas terbesar, tetapi hasilnya Papua menjadi provinsi termiskin. Atau tambang Buyat Minahasa yang dilakukan Newmont Minahasa Raya, masyarakat terpaksa melepaskan tanah warisan leluhur karena tidak mampu menanggung derita akibat pertambangan.
“Prinsipnya pertambangan merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian. Dalam konteks ini mayarakat Mabar hanya akan menjadi sebagai penikmat warisan jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan hidup dan sosial lainnya. Apa lagi lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat global warming dan climate change yang terus terjadi,” jelas Hery. (kr5)
Semua Fraksi Sepakat Hentikan Penambangan
BATUGOSOK
Selasa, 14 Juli 2009
LABUAN BAJO, KOMPAS - Semua fraksi di DPRD Kabupaten Manggarai Barat sepakat meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menghentikan sementara kegiatan tambang emas di Batugosok, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
”Pada rapat pleno yang dihadiri 18 dari 25 anggota DPRD, Kamis (9/7), semua fraksi sepakat tidak membentuk panitia khusus. Semua sepakat langsung memutuskan agar pemkab menghentikan sementara kegiatan tambang di Batugosok,” kata Ketua DPRD Manggarai Barat Matheus Hamsi, Senin di Labuan Bajo, saat dihubungi dari Ende, Flores.
DPRD Manggarai Barat terdiri dari tiga fraksi, yakni Fraksi Golkar Plus, Fraksi PDI-P, dan Fraksi Gabungan. Menurut Matheus, keputusan DPRD akan dikeluarkan secara tertulis paling lambat Rabu (15/7).
Setidaknya ada dua pertimbangan dari keputusan tersebut. Pertama, adanya keresahan dan penolakan masyarakat atas tambang emas. Kedua, dari sisi regulasi, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dan Peraturan Daerah Manggarai Barat Nomor 30 Tahun 2005 tentang Tata Ruang Wilayah, kawasan Batugosok merupakan zona wisata yang bebas dari kegiatan penambangan.
”Jika bupati tidak merespons keputusan DPRD, kami akan meneruskan persoalan tambang ini ke pusat,” kata Matheus.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemkab Manggarai Barat John Jajalu menyatakan, pihaknya hingga Senin sore belum menerima keputusan DPRD Manggarai Barat yang meminta penghentian sementara kegiatan tambang di Batugosok.
”Belum ada rencana untuk penghentian kegiatan tambang. Aktivitas di sana baru eksplorasi. Tanah yang dibor, jika kadar emasnya tidak bernilai ekonomis, juga ditutup kembali,” katanya.
Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regio Nusa Tenggara R Sudirman yang juga ketua tim gabungan untuk mengecek aktivitas penambangan di Batugosok dan lokasi lain di Manggarai Barat, Senin di Denpasar, menyatakan, material penambangan emas di Batugosok berpotensi merusak daerah sekitar, termasuk Taman Nasional Komodo. Debu dan material lepasan penambangan akan merusak ekosistem mangrove di pantai, melenyapkan padang lamun, merusak terumbu karang, serta mematikan biota laut di perairan sekitarnya.
Dari pengecekan pekan lalu, tim mencatat, lokasi tambang emas Batugosok di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan di atas 40 derajat. Kawasan seperti itu tidak dibenarkan menjadi lokasi bangunan, digunduli, apalagi untuk penambangan.
Daerah Batugosok dan sekitarnya harus dijaga kelestariannya karena merupakan kawasan flora dan fauna yang dilindungi. Wilayah itu merupakan habitat rusa timor dan monyet.(SEM/ ANS)
Selasa, 14 Juli 2009
LABUAN BAJO, KOMPAS - Semua fraksi di DPRD Kabupaten Manggarai Barat sepakat meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menghentikan sementara kegiatan tambang emas di Batugosok, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
”Pada rapat pleno yang dihadiri 18 dari 25 anggota DPRD, Kamis (9/7), semua fraksi sepakat tidak membentuk panitia khusus. Semua sepakat langsung memutuskan agar pemkab menghentikan sementara kegiatan tambang di Batugosok,” kata Ketua DPRD Manggarai Barat Matheus Hamsi, Senin di Labuan Bajo, saat dihubungi dari Ende, Flores.
DPRD Manggarai Barat terdiri dari tiga fraksi, yakni Fraksi Golkar Plus, Fraksi PDI-P, dan Fraksi Gabungan. Menurut Matheus, keputusan DPRD akan dikeluarkan secara tertulis paling lambat Rabu (15/7).
Setidaknya ada dua pertimbangan dari keputusan tersebut. Pertama, adanya keresahan dan penolakan masyarakat atas tambang emas. Kedua, dari sisi regulasi, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Manggarai Barat dan Peraturan Daerah Manggarai Barat Nomor 30 Tahun 2005 tentang Tata Ruang Wilayah, kawasan Batugosok merupakan zona wisata yang bebas dari kegiatan penambangan.
”Jika bupati tidak merespons keputusan DPRD, kami akan meneruskan persoalan tambang ini ke pusat,” kata Matheus.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Pemkab Manggarai Barat John Jajalu menyatakan, pihaknya hingga Senin sore belum menerima keputusan DPRD Manggarai Barat yang meminta penghentian sementara kegiatan tambang di Batugosok.
”Belum ada rencana untuk penghentian kegiatan tambang. Aktivitas di sana baru eksplorasi. Tanah yang dibor, jika kadar emasnya tidak bernilai ekonomis, juga ditutup kembali,” katanya.
Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regio Nusa Tenggara R Sudirman yang juga ketua tim gabungan untuk mengecek aktivitas penambangan di Batugosok dan lokasi lain di Manggarai Barat, Senin di Denpasar, menyatakan, material penambangan emas di Batugosok berpotensi merusak daerah sekitar, termasuk Taman Nasional Komodo. Debu dan material lepasan penambangan akan merusak ekosistem mangrove di pantai, melenyapkan padang lamun, merusak terumbu karang, serta mematikan biota laut di perairan sekitarnya.
Dari pengecekan pekan lalu, tim mencatat, lokasi tambang emas Batugosok di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan di atas 40 derajat. Kawasan seperti itu tidak dibenarkan menjadi lokasi bangunan, digunduli, apalagi untuk penambangan.
Daerah Batugosok dan sekitarnya harus dijaga kelestariannya karena merupakan kawasan flora dan fauna yang dilindungi. Wilayah itu merupakan habitat rusa timor dan monyet.(SEM/ ANS)
Penambangan Batugosok Tak Sesuai
TAMBANG EMAS
Senin, 13 Juli 2009 | 03:23 WIB
Denpasar, Kompas - Secara administratif, keputusan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda memberikan izin pengelolaan penambangan emas di Batugosok menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Kawasan itu sebagaimana dirinci dalam Peraturan Daerah Manggarai Barat Nomor 30 Tahun 2005 jelas peruntukannya sebagai zona komersial pariwisata, bukan untuk pertambangan.
Demikian antara lain hasil temuan tim gabungan dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Nusa Tenggara meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah pejabat berbagai instansi terkait dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tim ini sejak Jumat lalu berada di Manggarai Barat dengan tugas khusus mengecek penambangan di Batugosok dan lokasi lainnya di daerah tersebut. Aktivitas penambangan itu ditentang keras oleh berbagai elemen masyarakat di Manggarai Barat.
Tugas tim gabungan melakukan pengecekan lapangan terkait penambangan di Manggarai Barat, Pulau Flores, itu atas instruksi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar melalui Deputi I Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita. Instruksi itu terutama ditujukan kepada Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Nusra R Sudirman yang berkantor di Denpasar, Bali (Kompas, 11/7).
Sudirman melalui telepon dari Denpasar, Sabtu petang, mengakui, timnya bersama tim dari Pemprov NTT sudah kembali dari lokasi Batugosok, sekitar 10 km utara Labuan Bajo, kota Kabupaten Manggarai Barat. ”Tim gabungan kami juga sudah menggelar rapat di Labuan Bajo yang mengkaji berbagai masukan dari sisi administrasi, kondisi riil lapangan, serta masukan dari masyarakat. Bagaimana hasil rapat dan rekomendasinya masih tertutup karena sepenuhnya akan menjadi laporan kepada Bapak Menneg Lingkungan Hidup di Jakarta,” kata Sudirman.
Tim gabungan ini mengunjungi lokasi Batugosok Sabtu pagi hingga siang. Seperti dilukiskan Sudirman, tim menyaksikan kawasan tambang emas itu memanfaatkan kawasan dengan kemiringan sangat tajam di atas 40 derajat. Kawasan dengan kemiringan seperti itu tidak boleh digunduli apalagi digusur karena akan menjadi sumber bencana bagi kawasan sekitarnya. Apalagi daerah sekitarnya sudah sejak lama menjadi lokasi perhotelan, seperti Hotel Batugosok yang menghadap laut di kaki bukit Batugosok. Di depannya adalah Pulau Seraya yang sudah didukung perhotelan. Sementara lokasi sekitar pantai di tepi utara Batugosok sejak lama menjadi lokasi budidaya ikan keramba.
Tim gabungan juga bertemu dengan sekitar 30 tokoh masyarakat dan kelompok aktivis.. Semuanya berharap kawasan Batugosok menjadi kawasan pariwisata, dan menolak masuknya aktivitas penambangan. (ANS)
Senin, 13 Juli 2009 | 03:23 WIB
Denpasar, Kompas - Secara administratif, keputusan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda memberikan izin pengelolaan penambangan emas di Batugosok menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Kawasan itu sebagaimana dirinci dalam Peraturan Daerah Manggarai Barat Nomor 30 Tahun 2005 jelas peruntukannya sebagai zona komersial pariwisata, bukan untuk pertambangan.
Demikian antara lain hasil temuan tim gabungan dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Regional Nusa Tenggara meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah pejabat berbagai instansi terkait dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Tim ini sejak Jumat lalu berada di Manggarai Barat dengan tugas khusus mengecek penambangan di Batugosok dan lokasi lainnya di daerah tersebut. Aktivitas penambangan itu ditentang keras oleh berbagai elemen masyarakat di Manggarai Barat.
Tugas tim gabungan melakukan pengecekan lapangan terkait penambangan di Manggarai Barat, Pulau Flores, itu atas instruksi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar melalui Deputi I Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita. Instruksi itu terutama ditujukan kepada Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Nusra R Sudirman yang berkantor di Denpasar, Bali (Kompas, 11/7).
Sudirman melalui telepon dari Denpasar, Sabtu petang, mengakui, timnya bersama tim dari Pemprov NTT sudah kembali dari lokasi Batugosok, sekitar 10 km utara Labuan Bajo, kota Kabupaten Manggarai Barat. ”Tim gabungan kami juga sudah menggelar rapat di Labuan Bajo yang mengkaji berbagai masukan dari sisi administrasi, kondisi riil lapangan, serta masukan dari masyarakat. Bagaimana hasil rapat dan rekomendasinya masih tertutup karena sepenuhnya akan menjadi laporan kepada Bapak Menneg Lingkungan Hidup di Jakarta,” kata Sudirman.
Tim gabungan ini mengunjungi lokasi Batugosok Sabtu pagi hingga siang. Seperti dilukiskan Sudirman, tim menyaksikan kawasan tambang emas itu memanfaatkan kawasan dengan kemiringan sangat tajam di atas 40 derajat. Kawasan dengan kemiringan seperti itu tidak boleh digunduli apalagi digusur karena akan menjadi sumber bencana bagi kawasan sekitarnya. Apalagi daerah sekitarnya sudah sejak lama menjadi lokasi perhotelan, seperti Hotel Batugosok yang menghadap laut di kaki bukit Batugosok. Di depannya adalah Pulau Seraya yang sudah didukung perhotelan. Sementara lokasi sekitar pantai di tepi utara Batugosok sejak lama menjadi lokasi budidaya ikan keramba.
Tim gabungan juga bertemu dengan sekitar 30 tokoh masyarakat dan kelompok aktivis.. Semuanya berharap kawasan Batugosok menjadi kawasan pariwisata, dan menolak masuknya aktivitas penambangan. (ANS)
TAMAN NASIONAL KOMODO Tujuh Keajaiban Dunia Itu Terancam...
Jumat, 17 Juli 2009 | 04:09 WIB
Oleh Frans Sarong
Oleh Frans Sarong
Taman Nasional Komodo kini sedang dalam seleksi ketat menuju tujuh keajaiban dunia (7 wonders of nature). Namun, penambangan emas yang dilakukan di luar kawasan inti Taman Nasional Komodo mengancam status itu.
Bepergian dengan speedboat atau perahu motor cepat dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo bukanlah perjalanan teduh. Lebih dari separuh perjalanan selama lebih kurang dua jam selalu dengan guncangan mendebarkan karena harus menembus arus ganas tak terarah yang lazim disebut kala kala. Kunjungan itu pun sempat dilanda kekecewaan karena nyaris gagal menyaksikan binatang purba komodo langsung di habitatnya.
”Perairan sekitar ini arusnya sering sangat ganas. Arahnya tak tentu, seperti guncangan air dalam baskom, sehingga speedboat harus pelan agar tidak lepas kendali,” tutur Harris, nakhoda speedboat, setelah satu jam perjalanan.
Labuan Bajo di daratan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah kota Kabupaten Manggarai Barat, yang sekaligus merupakan gerbang masuk ke Taman Nasional Komodo. Sementara komodo adalah binatang purba yang masih bertahan hidup di Pulau Komodo dan Pulau Rinca, dua dari 61 pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo.
Setiba di Pulau Komodo, seorang pria bernama Hanmor (29) mendekat dengan tongkat bercabang dua pada ujungnya. ”Ini namanya wali kukun, yakni tongkat yang berfungsi khusus menghalau ora atau komodo,” papar Hanmor yang selanjutnya memandu Kompas bersama tim dari PT Putri Naga Komodo (PNK)—mitra Balai Taman Nasional Komodo—menyusuri semak, padang savana, dan kawasan hutan sekitarnya.
Sambil mengingatkan pengunjung agar bersikap tenang bila menjumpai komodo, Hanmor selalu berpandangan awas menembus semak, celah batu, atau balutan savana yang mulai mengering, kalau-kalau komodo sedang berada di sana. Namun, dari penelusuran sekitar 2 kilometer hingga kembali ke Loh Liang, tidak berhasil dijumpai komodo.
Tentang ”menghilangnya” komodo dari kawasan sekitar Loh Liang itu, Hanmor yang asal Kampung Komodo—satu-satunya kampung penduduk di Pulau Komodo—mengakui kunjungan Kompas bersama tim dari PNK awal Juli lalu itu waktunya kurang pas untuk menyaksikan binatang langka tersebut di habitatnya.
Katanya, komodo, atau lazim disebut ora oleh warga setempat, sekarang sedang memasuki musim kawin, yang waktunya berlangsung antara Juli dan Agustus. Selama musim kawin, kawanan ora biasanya bertahan di dalam goa, lubang, atau liang.
Namun, kekecewaan yang sempat melanda pun terobati karena seekor komodo akhirnya dapat disaksikan di sekitar Kampung Komodo. Posisinya sedang berbaring malas di atas batu sekitar pantai.
Warga Kampung Komodo lainnya, Ridwan Hakbar (33), memastikan ora yang dijumpai itu berjenis kelamin betina. ”Ora betina itu pasti sedang menunggu jantannya karena di dekatnya ada liang untuk kawin,” ujarnya.
Posisi optimistis
Taman Nasional Komodo yang sudah menjadi warisan dunia, dikenal luas karena dua pulaunya, Komodo dan Rinca, merupakan habitat binatang purba komodo yang kini berpopulasi sekitar 2.500 ekor. Di kedua pulau yang sama juga hidup secara liar ribuan ekor rusa timor yang sekaligus menjadi mangsa utama penyambung siklus hidup komodo.
Sementara kawasan lautnya merupakan ladang kaya ikan. Berdasarkan catatan dari Balai Taman Nasional Komodo, di dalam kawasan laut seluas lebih kurang 130.000 hektar hidup sekitar 1.000 jenis ikan hias dan berbagai jenis ikan mahal, seperti karapu dan napoleon. Kawasan lautnya juga memiliki sedikitnya 53 titik yang sangat cocok untuk rekreasi menyelam (diving).
Lebih dari itu, Taman Nasional Komodo kini sedang dalam seleksi ketat menuju tujuh keajaiban dunia melalui kontes yang diselenggarakan New Open World Foundation bekerja sama dengan The United Nations Office Partnership yang berpusat di Swiss. Perhelatan kontes itu sudah bergulir sejak tahun lalu.
”Kami berharap dukungan semua pihak hingga Taman Nasional Komodo berhasil masuk tujuh keajaiban dunia,” kata Heru Rudiharto, Kepala Tata Usaha Balai Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo.
Harapan senada dilontarkan Dirjen Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sapta Nirwandar. Namun, untuk itu, ia meminta Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menghentikan penambangan emas di kawasan Batugosok, sekitar 10 kilometer utara Labuan Bajo. Alasannya karena selain akan mengganggu keunikan Taman Nasional Komodo, penambangan yang dimulai sejak akhir tahun lalu itu juga bisa membuyarkan upaya taman nasional tersebut menuju tujuh keajaiban dunia, yang posisinya kini makin optimistis.
Taman Nasional Komodo kini menempati posisi enam dari 11 besar kategori E forest/national park/nature reserve. Itu berarti masih harus melewati tahap lainnya sebelum diumumkan hasil finalnya sekitar Desember nanti.
Penambangan emas di Batugosok bisa menjadi pengganjal yang menggagalkan Taman Nasional Komodo menjadi tujuh keajaiban dunia. Padahal, jika masuk tujuh keajaiban dunia, pariwisata akan berkembang, turis-turis berdatangan dan masyarakat sekitar pun mendapat keuntungan
Tutup Tambang di Manggarai
15 Mei 2009
[JAKARTA,Suara Pembahruan-Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah daerah menghentikan aktivitas dan menutup tambang emas di kawasan Batu Gosok, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penutupan proyek itu harus dilakukan untuk melindungi lingkungan hidup dari ancaman kerusakan, yang dirasakan sejak dimulainya proses eksplorasi proyek.
Menurut Rachmat, Kementerian Lingkungan Hidup saat ini akan bersikap lebih aktif dan tegas dalam penegakan hukum lingkungan, termasuk menangkap dan menahan pihak-pihak yang diduga telah merusak lingkungan.
Lebih rinci, Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Bali dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup R Sudirman menyampaikan, pihaknya sudah melakukan penyelidikan di lokasi tambang, dan menemukan sejumlah fakta yang pada intinya mempertanyakan status hukum pertambangan tersebut.
Sudirman mengatakan, secara hukum, izin penambangan yang dikeluarkan bupati menyimpang dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 30 Tahun 2005, yang menyatakan, wilayah Batu Gosok merupakan kawasan pariwisata, bukan daerah pertambangan. "Kondisi lingkungan saat ini sudah mengkhawatirkan. Proyek itu, bukan hanya melakukan eksplorasi, tetapi juga sudah tahap eksploitasi, " kata Sudirman.
Didukung
Sudirman mengatakan, secara hukum, izin penambangan yang dikeluarkan bupati menyimpang dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 30 Tahun 2005, yang menyatakan, wilayah Batu Gosok merupakan kawasan pariwisata, bukan daerah pertambangan. "Kondisi lingkungan saat ini sudah mengkhawatirkan. Proyek itu, bukan hanya melakukan eksplorasi, tetapi juga sudah tahap eksploitasi, " kata Sudirman.
Didukung
Sementara itu, dari Labuan Bajo dilaporkan, para pastor se-Kevikepan Manggarai Barat menolak berdamai dengan Bupati Manggarai Barat Fidelis Pranda terkait masalah tambang di Batu Gosok. Para pastor tetap meminta Pranda, segera menghentikan aktivitas tambang di wilayah tersebut.
Sikap itu disampaikan dalam pertemuan para pastor se-Kevikepan Manggarai Barat dengan Bupati Fidelis Pranda di Labuan Bajo, Selasa (14/7). Praeses Seminari Menengah Yohanes Paulus II, Robert Pelita menceritakan, dalam pertemuan itu, para pastor menyampaikan sikap tegas mereka, menolak tambang di Batu Gosok, yang merupakan daerah penyanggah TNK. Sebaliknya, Bupati Pranda ngotot mempertahankan tambang tersebut.
Sikap itu disampaikan dalam pertemuan para pastor se-Kevikepan Manggarai Barat dengan Bupati Fidelis Pranda di Labuan Bajo, Selasa (14/7). Praeses Seminari Menengah Yohanes Paulus II, Robert Pelita menceritakan, dalam pertemuan itu, para pastor menyampaikan sikap tegas mereka, menolak tambang di Batu Gosok, yang merupakan daerah penyanggah TNK. Sebaliknya, Bupati Pranda ngotot mempertahankan tambang tersebut.
Penolakan itu disampaikan, karena tambang itu bertentangan dengan sejumlah peraturan daerah setempat. Selain itu, tambang tersebut juga dilakukan di atas tanah milik masyarakat. Sayangnya, Bupati Pranda tidak menyosialisasikan masalah itu kepada pemilik lahan. Penolakan juga dilakukan karena aktivitas tambang itu merusak lingkungan.
Sementara itu, aktivis lingkungan hidup Marsel Agot SVD menceritakan, dirinya melakukan interupsi, ketika Bupati Pranda berbicara. Pasalnya, Bupati Pranda berbicara tentang tambang Batu Gosok, tanpa berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan dan data yang ada. "Saya berdiri, saya bilang, interupsi. Pak, jangan asal ngomong. Omong berdasarkan fakta dan data. Saya punya data banyak di sini. Jangan omong sembarang," tegasnya. [A-21/E-7]
Menneg LH: Hentikan Penambangan
Rabu, 15 Juli 2009 | 04:35 WIB
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Negara Lingkungan Hidup akan merekomendasikan penghentian sementara pembukaan tambang emas di Batugosok, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Rekomendasi itu atas dasar pemantauan tim di lapangan pekan lalu.
JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Negara Lingkungan Hidup akan merekomendasikan penghentian sementara pembukaan tambang emas di Batugosok, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Rekomendasi itu atas dasar pemantauan tim di lapangan pekan lalu.
”Saya minta penutupan sementara, seperti temuan tim di lapangan,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar seusai menerima laporan Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Bali-Nusa Tenggara Sudirman di Jakarta, Selasa (14/7). Lokasi tambang itu di sekitar kawasan penyangga konservasi binatang langka komodo.
Ada beberapa alasan mendasar pertimbangan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, di antaranya pembukaan itu menyalahi tata ruang peruntukan kawasan pariwisata dan berpotensi memunculkan konflik horizontal. Rencana pembangunan jangka menengah kabupaten juga mengarahkan kawasan Batugosok sebagai kawasan pariwisata.
Selain itu, pembukaan tambang tersebut tidak didahului penyusunan dokumen upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL). ”Sesuai ketentuan, kegiatan berdampak penting seperti tambang harus didahului dokumen UKL/UPL,” kata Sudirman. Dokumen itu disusun sebelum eksplorasi, sedangkan kondisi lapangan menunjukkan kegiatan sudah eksploitasi dan mengupas tebing berkemiringan 40 derajat.
Deputi I Menneg LH Bidang Tata Lingkungan Hermien Roosita mengatakan, pihaknya akan merancang pertemuan koordinasi antarsektor, baik di pusat maupun di daerah, pascarekomendasi penutupan sementara aktivitas di lapangan.
Berpotensi mengganggu
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori mengatakan, aktivitas tambang emas di pinggir pantai itu berisiko akibat pembuangan tailing atau limbah tambang. Meskipun areal tambang di luar kawasan konservasi kehutanan, hal itu berpotensi mengganggu kawasan konservasi sehingga Departemen Kehutanan mengimbau perizinannya ditinjau ulang.
”Kalau lokasi tambang di kawasan konservasi, menjadi kewenangan Departemen Kehutanan untuk menghentikan dan memproses secara hukum,” kata Darori menjawab pers. Rencananya, Menteri Kehutanan MS Kaban, Rabu malam, dijadwalkan berangkat ke Batugosok mengunjungi lokasi tambang. Kedatangannya untuk memastikan lokasi tambang tidak masuk kawasan konservasi. (GSA/NAW)
Geram Kutuk Tindakan Premanisme
Selasa, 14 Jul 2009 |
LABUAN BAJO, Timex - Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Manggarai Barat (Mabar) mengutuk dan mengecam keras semua bentuk tindak kekerasan dan ancaman teror yang selama ini kerap dilakukan oknum kelompok preman di Manggarai Barat. Ketua Geram, Bernadus Barat Daya saat jumpa Pers di Pos Geram kompleks Firdaus Labuan Bajo kemarin belum lama ini mengatakan, Minggu, 7 Juli sekitar pukul 23.30 Wita, sekelompok preman yang biasa mangkal di seputaran rumah jabatan bupati melakukan penyerangan di rumah kediaman Kornelis Rahalaka, sekretaris Geram sekaligus pemimpin redaksi Majalah Diaspora. “Bersyukur bahwa saat penyerangan, Kornelis Rahalaka tidak berada di rumah karena masih sedang menghadiri rapat rutin Geram di posko 2. Beruntung pula karena anak dan istri dari saudara Kornelis Rahalaka mengunci pintu dengan rapat dan tidak ke luar rumah. Namun demikian, hingga sekarang mereka masih mengalami trauma psikologis akibat kejadian tersebut,” jelasnya. Aksi Premanisme katanya, mengeluarkan beberapa pernyataan diantaranya Geram mendesak jajaran kepolisian agar segera mengusut dan menindak tegas pelaku tindak kekerasan dan ancaman teror. Karena, cara-cara yang dilakukan kelompok preman seperti itu tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Ditegaskan, patut diduga kuat bahwa motif ancaman teror yang kerap dilakukan kelompok tertentu kepada aktivis Geram belakangan ini sangat berkaitan erat dengan aktivitas demonstrasi tolak tambang. Diduga, ada oknum penguasa tertentu di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Mabar yang turut menggerakan dan menfasilitasi kelompok preman dalam melakukan aksinya. Setiap kali aksi demonstrasi Geram, selalu ada kelompok preman yang memprovokasi masa demonstran. Bahkan saat dengar pendapat di gedung DPRD Mabar beberapa waktu lalu, kelompok preman juga turut hadir mengawal rombongan bupati sambil memprovokasi aktivis Geram. Geram menyerukan kepada bupati dan DPRD Mabar untuk segera berkoordinasi dengan jajaran kepolisian guna mengambil langkah tegas dalam menciptakan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Mabar. Sebab, jika kelompok preman dibiarkan tetap berkeliaran, akan memicu konflik horisontal dan vertikal dan berpeluang terjadi kekacauan secara sporadis. Dijelaskan, Geram mengharapkan Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri ESDM-RI, Menteri Lingkungan Hidup-RI, Menteri Kehutanan-RI agar segera mengintervensi kewenangan bupati Manggarai Barat dalam kaitannya dengan persoalan tambang di Mabar. Intervensi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi NTT diperlukan guna meletakkan persoalan/kasus pertambangan yang terjadi Mabar pada koridor hukum yang tepat dan benar. Intervensi juga diperlukan guna menghindari potensi penyalahgunaan wewenang oleh Pemerintah Kabupaten Mabar dalam persoalan tambang. “Saya perlu tegaskan bahwa Geram–Flores akan terus melakukan upaya perlawanan terhadap kehadiran perusahaan tambang di seluruh Ppulau Flores dan Lembata. Komitmen kami sudah bulat, Kabupaten Manggarai Barat khususnya dan pulau Flores dan Lembata umumnya, harus bebas dari tambang terbuka,” tegasnya. (Che) |