Minggu, 17 April 2011

Menggugat Dugaan Praktek Illegal Mining di Manggarai


Oleh Edi Danggur, SH, MM, MH
Edi Danggur
Penulis adalah Advokat dan Ketua Umum Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) di Jakarta
DALAM opini berjudul “Jalan Keluar Kriminalisasi Pejabat dan Pengusaha Pertambangan di NTT” (PK,10/2), Upa Labuhari menuding aparat penegak hukum di NTT telah mengkriminalisasi pengusaha dan pejabat pertambangan di NTT (alinea 1). Dia mencontohkan Polres Manggarai telah menetapkan Direksi PT Sumber Jaya Asia (PT SJA) sebagai tersangka pelaku penambangan di kawasan hutan lindung Reo (alinea 6).
Dasar tudingan Upa Labuhari adalah Keputusan Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri yang menyebutkan Polres Manggarai telah bertindak jauh untuk menetapkan Direksi PT SJA sebagai tersangka sebelum memiliki bukti konkret bahwa kawasan penambangan yang memiliki izin Kuasa Pertambangan (KP) dari Pemda Manggarai adalah kawasan hutan lindung (alinea 7).
Opini Upa Labuhari ini tentu saja memunculkan persoalan hukum (legal issues). Pertama, siapa atau instansi manakah yang secara hukum berwenang untuk menentukan kawasan hutan lindung, apakah Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri ataukah pemerintah, dalam hal ini menteri kehutanan? Kedua, apakah benar tambang  PT SJA beroperasi pada kawasan hutan lindung? Ketiga, apakah larangan menambang pada kawasan hutan lindung itu bersifat ‘hukum memaksa’ atau bersifat ‘hukum mengatur’?
Wewenang Menteri Kehutanan 
Sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya. Tentu saja penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan.
Itu berarti bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau menetapkan suatu kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan (Vide Pasal 4 ayat (1) huruf b UU 41/1999 tentang Kehutanan). Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat maka pemerintah wajib menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan (Vide Pasal 14).
Dengan adanya pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah, maka hutan tersebut hanya dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Penggunaan kawasan hutan yang bertentangan dengan fungsi pokoknya hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pemerintah yang didasarkan pada hasil penelitian terpadu (Vide Pasal 19).
Itu pun syarat-syaratnya ketat dan sangat restriktif, dimana penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (Vide Pasal 38 ayat 3).
Dalam seluruh uraian di atas, sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam Pasal 1 butir 14 dan 15 UU No.41/1999 yang dimaksudkan dengan pemerintah adalah pemerintah pusat sedangkan menteri yang dimaksud adalah menteri kehutanan. Jadi, yang secara hukum berwenang mengatur, mengurus dan menetapkan hutan dan kawasan hutan adalah pemerintah pusat, dalam hal ini menteri yang membidangi kementerian teknis, yaitu menteri kehutanan dan  bukan Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri sebagaimana didalilkan Upa Labuhari.
Beroperasi di Hutan Lindung
Hukum pertambangan tak pernah beroperasi di ruang hampa. Sehingga operasi tambang sebenarnya bukan sekadar bagaimana melaksanakan hukum pertambangan semata. Oleh karena itu pengusaha tambang juga harus melaksanakan ketentuan hukum terkait lainnya termasuk hukum kehutanan. Maka legalitas perizinan KP yang ada di tangan PT SJA tidak otomatis melegitimasinya untuk beroperasi di kawasan hutan tanpa mendapat izin menteri kehutanan.
Persoalannya, apakah tambang PT SJA beroperasi di kawasan hutan lindung? Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No.41/1999), suatu kawasan dikukuhkan sebagai kawasan hutan harus melalui 4 tahapan proses: (a) penunjukan kawasan hutan; (b)  penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan.
Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 terbukti telah dikukuhkan sebagai kawasan hutan lindung melalui 4 tahapan  proses tersebut, yaitu: (a) SK Menteri Kehutanan No.89/Kpts-II/1983 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Propinsi NTT dan kemudian diperbarui dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.423/Kpts-II/ 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi NTT dimana dalam SK tersebut Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 telah ditetapkan sebagai hutan lindung; (b) adanya penataan tata batas hutan yang diikuti oleh instansi pemerintah daerah dan provinsi yang ditandai dengan penanaman pilar tata batas; (c) ada peta tata batas sebagian kelompok Hutan Nggalak Rego (RTK 103) dengan skala 1:20.000. Peta tata batas ini dilampirkan dalam Berita Acara Tata Batas Kelompok Hutan Nggalak Rego (RTK 103) tanggal 28 Februari 1997.
Atas dasar itu maka Polres Manggarai telah menangkap dan menahan beberapa warga masyarakat adat, termasuk Tua Teno Kampung Robek, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai ketika mereka didapati sedang menebang beberapa pohon di Kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego RTK 103 tersebut. Bahkan ada di antara mereka yang diputus bersalah dan menjalani hukuman penjara.
Kejadian ini telah mengusik rasa keadilan masyarakat setempat. Beberapa aktivis LSM  melakukan protes agar Bupati Manggarai dan Polres Manggarai bersikap adil. Kalau masyarakat yang sekadar menebang beberapa pohon di dalam kawasan hutan lindung saja ditangkap, ditahan dan dipenjara, maka polisi juga harus berani menangkap Direksi PT SJA. Sebab KP yang dipegang PT SJA bukan sarana melegitimasi pelanggaran hukum untuk beroperasi di hutan lindung.
Menanggapi reaksi masyarakat tersebut, maka melalui Surat  No.0019/SJA/IX/2008 tanggal 24 November 2008, PT SJA  mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung kepada menteri kehutanan. Surat ini merupakan alat bukti yang sangat sempurna karena berisi pengakuan PT SJA bahwa dia telah beroperasi di hutan lindung. Sebab kalau benar dia tidak beroperasi di hutan lindung, maka tidaklah mungkin dia menulis surat permohonan izin tersebut kepada menteri kehutanan.
Protes atas sikap tidak adil Polres Manggarai itu meluas sampai ke Jakarta.
Dalam audiensi JPIC OFM-KPM Tenang Tana Ge tanggal 5 Desember 2008 dengan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban, dikeluhkan sikap berat sebelah pemda dan kepolisian terhadap pelanggaran hukum di kawasan hutan lindung. Menhut pun berjanji segera mengutus stafnya ke Reo guna meneliti apakah operasi tambang PT SJA itu berada di kawasan hutan lindung.  Hasilnya terbukti bahwa tambang PT SJA beroperasi di hutan lindung RTK 103 Reo tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Maka melalui surat No.S.40/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 Menhut mohon kepada Gubernur NTT mengambil tindakan terhadap PT SJA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Surat Menhut kepada Gubernur NTT tersebut juga ditembuskan kepada Dirjen PHK, Kepala BPK, Bupati Manggarai, Kadishut NTT dan Direktur JPIC OFM.
Pada hari yang sama, Menhut MS Kaban melalui Surat No.S.41/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 menolak permohonan pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh PT SJA tersebut. Yang menarik bahwa dalam surat itu Menhut  juga  mengingatkan PT SJA mengenai ketentuan Pasal 50 ayat (3) mengenai larangan bagi setiap orang untuk mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan.
Tembusan surat itu disampaikan kepada Presiden RI, Menteri ESDM, Kapolri, NTT, Gubernur NTT, Bupati Manggarai, Kadishut NTT dan Kadishut Manggarai, termasuk Kapolda NTT. Sehingga berdasarkan surat-surat menhut tersebut, Kapolda NTT melalui Surat No.B/80/II/2009/Dit.Reskrim tanggal 11 Februari 2009 memerintahkan Kapolres Manggarai segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Direksi PT SJA.
Setelah mendapat tembusan surat dari menhut tersebut, Bupati Manggarai Drs. Christian Rotok, akhirnya sadar telah menjadi bagian dari masalah itu (part of problem). Maka dengan SK No.HK/72/2009 tanggal 12 Maret 2009 Bupati Manggarai mencabut 44,82 hektar wilayah KP PT SJA yang berada dalam kawasan hutan lindung dari luas KP seluruhnya 77,43 hektar. SK ini merupakan alat bukti pengakuan Bupati Manggarai bahwa 58% wilayah KP PT SJA di Reo berada dalam kawasan hutan lindung.
Atas dasar itu, tidak hanya Direksi PT SJA yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum, tetapi juga Bupati Manggarai Drs. Christian Rotok, karena terbukti telah memberikan izin tambang di kawasan hutan lindung kepada PT SJA. Sebab, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Bupati Manggarai paling mengetahui mana bagian wilayahnya yang merupakan kawasan hutan lindung.
Bupati tidak dapat beralasan bahwa dia tidak tahu apakah koordinat KP PT SJA itu berada dalam kawasan hutan lindung atau tidak. Sebab, dalam penegakan hukum, berlaku asas universal: ketidaktahuan akan hukum atau undang-undang bukan merupakan alasan pemaaf (ignorantia legis excusat neminem). Asas universal ini telah diadopsi dalam berbagai Putusan MA di mana tiap orang dianggap mengetahui aturan-aturan dan larangan-larangan dalam hukum, walaupun dalam kenyataannya tidak semua aturan dan larangan itu diketahui (Vide Putusan MA No.645K/Sip/1970 tanggal 10 Februari 1971).
Larangan Bersifat Memaksa
Apakah larangan menambang di dalam kawasan hutan itu dapat disimpangi? Dalam ilmu hukum dikenal adanya aturan hukum yang bersifat mengatur (aanvuelendrecht atau directory rule) dan aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingenrecht atau mandatory law). Aturan hukum yang bersifat mengatur, pelaksanaannya dapat disimpangi, tidak disertai sanksi hukum kalau ada yang melanggarnya. Maka dalam konteks tertentu, ketentuan hukum yang bersifat mengatur itu merupakan ketentuan hukum yang tidak sempurna (lex imperfecta).
Sebaliknya  aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingenrecht atau mandatory law), sifatnya sangat normatif, suka atau tidak suka, harus dilaksanakan, tidak dapat disimpangi. Sehingga kalau aturan hukum itu dilanggar ada sanksi hukumnya, baik pidana penjara maupun pidana denda. Larangan menambang pada kawasan hutan lindung merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa, tidak dapat disimpangi, bahkan berlakunya larangan itu tidak tergantung pada ada atau tidak ada  peraturan daerah.
Dengan demikian penulis menolak dengan tegas argumentasi PT SJA bahwa lokasi penambangan PT SJA bukan lokasi hutan lindung dengan alasan belum ada peraturan daerah yang menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung (Kompas, 10 Oktober 2009). Sebab, larangan menambang di kawasan hutan lindung itu bukan hanya berlaku di Manggarai atau NTT saja, tetapi larangan itu berlaku umum untuk seluruh Indonesia.
Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Februari 2011, Dirjen Planologi Kemenhut, Bambang Soepijanto, menegaskan bahwa larangan merambah hutan dan kewajiban mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari menhut oleh para penambang berlaku umum untuk semua orang. Oleh karena itu sangat konstitusional adanya kewajiban bagi penambang untuk mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari menhut dan juga larangan menambang di kawasan hutan tanpa ijin Menhut (www.hukumonline.com, 16 Februari 2011).
Itu sebabnya, dalam Surat No.S.41/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 tersebut, Menhut MS Kaban (saat itu) tidak hanya mengingatkan PT SJA mengenai larangan bagi setiap orang untuk mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan (Vide Pasal 50 ayat 3). Tetapi menhut juga mengingatkan akibat hukum jika PT SJA melanggar larangan tersebut yaitu ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar (Vide Pasal 78 ayat 6).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang berwenang menentukan suatu kawasan sebagai kawasan hutan adalah menteri kehutanan selaku kementerian teknis mewakili pemerintah pusat dengan sebuah proses pengukuhan kawasan hutan demi adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 terbukti telah mendapat pengukuhan dimaksud sehingga eksistensinya tidak dapat diperdebatkan lagi, apalagi hanya karena perdebatan belum adanya perda yang mengukuhkannya sebagai kawasan hutan. Sebab, hal itu tidak disyaratkan dalam UU.
Semua kesimpulan di atas sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum bagi publik di Manggarai dan NTT umumnya, termasuk masyarakat adat di sekitar lokasi tambang PT SJA, sebab ada di antara mereka yang sudah ditangkap, ditahan dan dipenjara karena didakwa merambah kawasan hutan lindung. Namun yang ditunggu publik Manggarai saat ini adalah penegakan hukum yang tegas, tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, tidak berat sebelah, sebab di hadapan hukum semua orang sama derajatnya (davanti alla lege tutti uguale).
Oleh karena itu aparat penegak hukum tidak boleh hanya bersikap tegas dan garang di hadapan masyarakat kecil di Desa Robek, Kecamatan Reok, tetapi harus bersikap tegas dan garang juga di hadapan Direksi PT SJA dan Bupati Manggarai. Ini tidak berlebihan, jika kita mempunyai cita-cita yang sama bahwa hukum dan keadilan harus dapat membawa kebaikan bagi semua (iustitia est bonum omnibus).  *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar