Opini


Geram, Almadi, JPIC
Frans Anngal
Tolak Tambang di Mabar dan Manggarai

Oleh Frans Anggal

Dampak negatif tambang terbuka di Manggarai dan Mabar semakin mengkhawatirkan. Para aktivis yang terdiri dari berbagai elemen
 civil societyterus berjuang, sebagaimana diwartakan Flores Pos Selasa 23 Februari 2010.

Di Mabar. Gerakan Masyarakat Anti Tambang (Geram) Flores Lembata sudah melaporkan ke Polri, Dephut, dan DPR RI dugaan pelanggaran hukum dalam eksplorasi tambang emas di Tebedo dan Batu Gosok. Eksplorasi di Batugosok melanggar perda tata ruang. Eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung.

Di Manggarai. Almadi NTT, JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, dan JPIC OFM datangi DPRD. Mereka tidak hanya bicara, tapi juga perlihatkan slide tentang dampak negatif yang sudah terjadi akibat eksploitasi tambang mangan di hutan lindung RTK 103 Torong Besi. Hutan hancur. Debit air turun. Udara terpolusi akibat debu mangan. Air laut tercemar oleh limbah buangan.

Kedua kasus ini sudah masuk proses hukum. Di Mabar, masih pada tahap penyidikan polisi. Itu pun tidak maju-maju dan makin tidak jelas. Polisi hanya panggil dan periksa orang-orang kecil: para kepala dinas terkait. Bupati dan kuasa pertambangannya belum. Sampai kapan, entahlah. Rupanya tidak dalam tahun ini. Soalnya, Mabar masuki musim pemilukada, dan bupati yang terbitkan izin eksplorasi itu maju sebagai
 incumbent.

Begitu di mana-mama. Persoalan politik dijadikan dalih untuk lupakan persoalan hukum. Di Ende, 2008, sekadar contoh. Kajari tidak memproses kasus dugaan korupsi yang libatkan bupati. Alasannya: pilkada. Tujuannya: demi kondusifnya pilkada. Artinya apa? Dalam otak kajari, penegakan hukum itu sama dengan gangguan kamtibmas. Demi pilkada, penegakan hukum harus diberantas. Ini petaka. Sendi negara hukum dilemahkan oleh aparat penegak hukum sendiri.

Di Mabar, karena proses hukum di tingkat bawah tidak bisa diandalkan, Geram tembak langsung ke Jakarta. Sedangkan di Manggarai, karena proses hukum di tingkat atas tidak bisa dipercaya, Almadi dan JPIC datangi DPRD. Kasusnya sendiri sudah sampai pada vonis tingkat banding peradilan tata usaha negara. Kuasa pertambangan menang melawan pemkab. Kuasa pertambangan dinilai tidak merambah hutan lindung karena penetapan hutan lindung tidak dituangkan dalam perda. Apakah pembuatan perda nantinya bisa jadi solusi? Kita tidak tahu. Hukum di negeri ini tidak jelas.

Di Mabar, dalam kasus eksplorasi tambang emas Batugosok, ada perda. Perda tata ruang. Perda itu dilanggar oleh bupati dan kuasa pertambangan. Dua pelanggar ini tidak ditangkap oleh polisi. Di Manggarai, dalam kasus hutan lindung RTK 103 Torong Besi, perdanya tidak ada. Karena itu, kuasa pertambangan yang eksploitasi mangan di situ dianggap tidak melanggar hukum. Namun ketika warga tebang kayu di lokasi yang sama, mereka ditangkap oleh polisi karena dianggap merambah hutan lindung.
 

Baik di Mabar maupun di Manggarai, penegakan hukumnya tebang pilih. Di Mabar, bupati dan kuasa pertambangan tidak tersentuh. Di Manggarai, kuasa pertambangan malah menang perkara. Prinsip ’persamaan di depan hukum’ (equality before the law) omong kosong. Penegak hukum belum berani ’maju tak gentar membela yang benar’. Hanya berani ’maju tak gentar membela orang besar’. Dan, ’maju tak gentar membela yang bayar’.

Kondisi begini bisa bikin para pejuang keadilan patah semangat. Syukurlah, Geram, Almadi, dan JPIC, tidak. Mereka tetap maju bertarung meski dipukul terus-menerus. Mereka tetap hidup dan berharap. Mereka percaya, akhirnya kebenaran dan keadilan akan tegak. Bukankah ini esensi dari setiap sikap religius?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Februari 2010